Dalam buku kebudayaan dan
agama Clifford Geertz mengemukakan bahwa trasisi religius Jawa, khususnya dari
kaum petani, merupakan sebuah campuran unsur-unsur India, Islam dan unsur-unsur
pribumi Asia Tenggara. Timbulnya kerajaan-kerajaan besar dan militeristis di
sumber-sumber beras di pedalaman dihubungkan dengan penyebaran pola kebudayaan
Hindu dan Budha ke pulau itu. Ekspansi perdagangan internasional lewat laut ke
kota-kota pelabuhan di pantai utara dalam abad ke 15 dan ke 16 dihubungkan
dengan penyebaran pola-pola budaya Islam.
Kemudian dua agama ini (Hindu
dan Budha) menjadi agama masyarakat yang kemudian disusupi oleh tradisi-tradisi
animistis yang khas bagi seluruh wilayah kebudayaan Melayu.
Penelitian Clifford Geertz adalah yang paling sering dijadikan rujukan peneliti-peneliti selanjutnya. Dalam pengamatannya tentang bagaimana budaya, dan agama kemudian saling mempengaruhi. Dan bahwasannya memang sebuah fenomena keagamaan tidaklah lepas dari berbagai macam faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor itu bisa saja sejarah, politik, pengaruh tokoh dll.
Penelitian Clifford Geertz adalah yang paling sering dijadikan rujukan peneliti-peneliti selanjutnya. Dalam pengamatannya tentang bagaimana budaya, dan agama kemudian saling mempengaruhi. Dan bahwasannya memang sebuah fenomena keagamaan tidaklah lepas dari berbagai macam faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor itu bisa saja sejarah, politik, pengaruh tokoh dll.
Kita mungkin sering mendengar
Islam santri dan abangan yang pertama kali di usulkan oleh Clifford Geertz yang
dikedepankan dalam karyanya “the religion of Java”. yang kemudian menuai banyak kritik dari berbagai
pihak. Dalam penelitian yang dilakukannya pada tahun 1950-an di daerah Jawa
timur, Geertz mengusulkan bahwa umat Islam di Jawa bisa dengan membaginya dalam
tiga kelompok. Yaitu mayoritas orang Jawa dalam pemahaman ini disebut orang
abangan dan dikira sangat dipengaruhi agama Hindu Budha atau malah animisme,
sedangkan orang islam yang lebih ortodoks disebut orang santri. Elite yang
terikat dengan birokrasi diberi sebutan priyayi dan dikira dipengaruhi oleh
agama hindu pula.
Geertz mengusulkan bahwa kaum
abangan merupakan fenomena “sinkretisme mendasar di Jawa, yang merupakan
lapisan paling mendasar di Jawa, yang merupakan tradisi rakyat sejati, dan juga
merupakan lapisan paling mendasar dalam peradaban Jawa ”. Maka agama ini
merupaka campuran animisme, Hinduisme dan Islam, dan memberi ruangan kepada
kepercayaan rumit mengenai roh-roh dan teori-teori mengenai ilmu hitam dan
perdukunan. Geertz mengatakan bahwa agama abangan ini terutama dianut oleh para
petani meskipun ia juga mengakui adanya orang abangan di kota pula.
Kelompok kedua terdiri dari
orang-orang yang “lebih islami” dan menitikberatkan kewajiban-kewajiban agama
ini. Kelompok santri ini, menurut Geertz, terutama terdiri dari orang pedagang
prkotaan, meskipun juga terdapat kelompok santri besar di pedesaan, yaitu di
pesantren.
Kelompok ketiga adalah
kelompok priyayi, yang menurut Geertz, memiliki kecenderungan Hindu mistisisme
dalam cara beragama mereka. Mereka pada umumnya bekerja sebagai pegawai dan
secara luas mengabaikan rukun-rukun islam.
Meskipun penciptaan
kategori-kategori tersebut dibuat untuk mendeskripsikan dan memberi kategori
yang tepat, namun penciptaan kategori seperti ini bisa saja berbahaya, tapi
seringkali juga sangat berguna. Paling tidak teori Geertz kemudian membut para
peneliti-peneliti yang kritis setelahnya, untuk membuat penyempurnaan atas
usulannya.
Bertolak belakang dengan
pemahaman Geertz ialah pemahaman Mark Woodward, yang membahas kehidupan
keagamaan kaum Muslimin di Yogyakarta dengan perbedaan diantara “kesolehan normatif”
dan “mistisisme”. Ia menemukan bahwa pembagian abangan-santri-priyayi tidaklah
tepat dipakai dalam usaha memahami umat islam di Jawa. Kemudian woodward
mengusulkan lima kategori dasar dalam islam di Jawa, yakni : Islam lokal
(indigenized Islam), tradisionalisme, modernisme, Islamisme, dan
neo-modernisme.
Geertz mengawali diskusinya
mengenai abangan dengan mengatakan bahwa dalam tradisi Jawa ada sebuah ritus
sederhana, resmi dan bersahaja”. Maka , diskusinya mengenai abangan ini sangat
berfokus pada ritus slametan. Meskipun isi maupun wadah slametan ini bisa
berubah-ubah sesuai dengan keadaan, Geertz mengatakan bahwa ada beberapa hal
yang selalu hadir dalam ritus ini diantaranya adalah misalnya kemenyan,
salawat, dan pembicaraan dengan bahasa halus oleh sang penyelenggara. Ritus ini
hendaknya mengurangi ketegangan dan konflik dalam masyarakat (walaupun tidak
selalu berhasil tentunya), dan memberikan rasa kebersamaan dan kesetaraan
kepada para hadirin. Selain itu, slametan juga menenangkan para roh setempat,
supaya mereka tidak mengganggu ritusnya sendiri. Dengan mengutip salah satu
informan Geertz : “pada saat slametan macam-macam makhluk gaib datang, dan duduk dan
makan bersama kita.”
Sebagaimana yang diamati
Geertz ritus slametan bisa diadakan diwaktu yang berbeda-beda; saat ada krisis
kehidupan, saat ada hari raya Islam, saat seluruh desa perlu diintegrasikan,
dan pada saat-saat yang lain. Ia menemukan pembahasan mengenai slametan yang
diadakan berhubungan dengan kelahiran (tingkeban, babaran, pasaran, pitonan),
dengan khitanan (sunatan), dengan pernikahan (kepanggihan), dan dengan kematian
(layatan), serta slametan yang berhubungan dengan hari raya islam dan slametan
bersih desa.
KRITIKAN TERHADAP GEERTZ
Ada yang menerima karya Geertz
apa adanya dan ada yang mengkritiknya secara tajam. Dalam kubu pertama banyak
peneliti yang mengaplikasi sistem Geertz pada materinya dan memujinya. Akan
tetapi disisi lain telah mencatat bahwa
sistem Geertz ini tidak cocok dengan keadaan nyata di Jawa.
Kritik-kritik ini dilontarkan
pada sistem Geertz berdasarkan pandangan bahwa ketiga kelompok santri, abangan
dan priyayi tidak memiliki dasar yang sama. Sedangkan santri dan abangan
merupakan kelompok agama, priyayi merupakan kelas sosial. Lebih pula, istilah
abangan sendiri dianggap bersifat menghina oleh sebagian umat islam di Jawa.
Lebih parah lagi, kritikan
tajam telah diarahkan pada karya Geertz oeleh beberapa ahli Islam sendiri.
Cendekiawan dan ahli Islam sendiri seperti Marshal Hodgson, kaget dengan
kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh Geertz, yang menurut Hodgson bahwa
Geertz terlalu dipengaruhi oleh sekelompok orang modernis dalam pemahamannya
terhadap agama Islam di Jawa. Maka apasaja yang dinyatakan syirik oleh informan
modernis Geertz, juga dianggap keluar dari Islam oleh Clifford Geertz.
Dan memang banyak kritik yan
dilontarkan ke kubu Geertz berdasarkan pengertian bahwa Geertz terlalu
dipengaruhi orang-orang modernis di Jawa. Dengan kata lain, Geertz menerima
definisi Islam para orang modernis tersebut, dan menganggap hal-hal yang
menyimpang dari pemahaman ini sebagai syirik. Maka dapat dipahami bahwa karya
Geertz ini dibebani oleh “pra-anggapan modernis,” dan bahwasannya pemahaman
orang barat maupun orang Jawa sendiri juga dipengaruhi pra-anggapan ini.
1 komentar:
Your discussion is helpful since I am learning about these kinds of things in my study. Thank you.
Posting Komentar