BOROBUDUR;
Sebuah Tulisan Singkat
Salah
Satu Keajaiban Dunia
Hampir kehabisan kata-kata ketika menyebut nama “Borobudur”, siapa
yang tidak tahu kebesaran-nya. Sebuah monumen candi terbesar dan terindah di
Indonesia, bahkan adalah candi terindah di bumi selatan. Di Asia dapat
disejajarkan dengan Sanchi dan Ayanta di India, Angkor Vat dan Bayon di
Kamboja. Borobudur terletak di di pusat pulau Jawa dengan puncaknya yang
menjulang ke angkasa dikelilingi bukit menoreh dan gunung-gunung berapi: Merapi
& Merbabu disebelah timur, Sumbing dan Sundara disebelah barat.
NAMA
ARTI DAN FUNGSI
Mengenai arti
nama Borobudhur sampai sekarang masih belum jelas diduga nama Borobudur ini
berasal dari bahasa Sansekerta “Vihara” yang berarti kompleks candi dan bihara
atau asrama, sedangkan kata budur mengingatkan kita kepada bahasa Bali :
Beduhur = di atas. Jadi nama Borobudur berarti asrama/bihara (kelompok candi)
yang terletak diatas tanah (bukit). Memang dihalaman sebelah barat laut
Borobudur sewaktu diadakan penggalian ditemukan sisa –sisa bekas sebuah
bangunan, yang mungkin sekali bangunan bihara.
Pendapat lain
dikemukakan oleh J.G. de Casparis berdasarkan prasasti Cri Kahulunan (842 M). Didalam
prasasti tersebut terdapat nama sebuah kuil “Bhumisambara”, yang menurut dia
tidak lagi lengkap. Agaknya masih ada sepatah kata lagi untuk “gunung”
dibelakangnya, sehingga nama seluruhnya seharusnya “Bhumi Sambharabhudara”. Dari
kata inilah akhirnya terjadi nama Borobudur. Tidak jauh dari Borobudur sekarang
masih ada sebuah desa yang bernama “Bhumisegara”. Masih banyak lagi teori-teori
dari para ahli tentang arti nama Borobudur ini.
Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua
yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang
memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca
pada 1365.
ore-Budur, yang kemudian
ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris
untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan
candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu
berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan
istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka
bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa
nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Borobudur adalah bangunan suci agama Buddha. Di India bangunan yang
berhubungan dengan agama Buddha disebut stupa. Ialah bangunan yang berbentuk
kubah berdiri diatas sebuah lapik dan diberi payung diatasnya. Adapuna arti
daripada stupa itu ialah :
Sebagai tempat menyimpan reliek (peninggalan-peninggalan yang
dianggap suci; benda-benda, pakaian, tulang belulang sang Buddha, Arhat dan
bhiksu terkemuka; dinamakan juga dhatugarbha (dagoba).
·
Sebagai
tanda peringatan dan penghormatan sang Buddha dan Sanggha.
·
Sebagai
lambang suci agama Buddha pada umumnya.
·
Lama
kelamaan stupa itulah yang dipuja dan sebagai demikian disebut juga : caitya.
Bangunan Borobudur pada hakekatnya adalah stupa juga, yang karena
mengalami perkembangan yang lama mempunyai bentuk arsitektur yang lain daripada
yang terdapat di negara-negara beragama Buddha lainnya. Apakah dengan demikian
Borobudur juga mempunyai arti dan fungsi seperti disebutkan diatas? Pada waktu
diadakan penggalian tanah dibawah stupa induknya dalam tahun 1842 oleh Resi den
Kedu, Hartmann, sama sekali tidak ditemukan reliek.
(Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919)
merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya)
Sejarawan J.G. de Casparis dalam
disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa
Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan
pendiri Borobudur adalah raja Mataram
dari wangsa Syailendra
bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān
yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk
memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang
berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa",
adalah nama asli Borobudur.
Meskipun demikian belum ditemukan sumber-sumber tertulis yang
menyebutkan bilamana, bagaimana dan berapa lama candi ini dibangun, sehingga
secara pasti tidak dapat ditentukan usianya.
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur,
terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan
pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut
dan Candi Pawon
yang terbujur membentang dalam satu garis lurus. Awalnya diduga hanya suatu
kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat
jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang
menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya
beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi
para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga
candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan
ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan
adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada,
akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum
diketahui secara pasti.
Danau purba
Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu.
Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di
atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah
mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur
dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan
pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa
Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
bunga teratai
yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma
(teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai
putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali
digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang
regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk
arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di
Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah
keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur).
Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak
bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan
fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di
sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan
bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan
kering, bukan dasar danau purba.
Sementara
itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi,
sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung
keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan
Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari
waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah
kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14.
Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah
bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya.
Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen
Pembangunan
Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan
siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya
diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki
tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti
kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 AD, masa
puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 tahun dan dirampungkan
pada masa pemerintahan Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah
raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa
Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat,
akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Candi Buddha Borobudur dibangun
pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran
Prambanan termasuk candi Siwa Prambanan.
Pada tahun 732 AD, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya
10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp.
Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk
Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan
kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan
yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno,
agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang
menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian
wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai
jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi
dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Tahapan
pembangunan Borobudur
Para ahli
arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa
besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek
perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti
menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut
adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1.
Tahap
pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak
diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M).
Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari
batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga
menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur
batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya
dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada
tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur
asli piramida berundak.
2.
Tahap
kedua: Penambahan dua undakan persegi,
pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa
tunggal yang sangat besar.
3.
Tahap
ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun,
undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti
tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar
pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya.
Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang
membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog
menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu
berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut
diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian
atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam
longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk
tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang
dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk
menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan
yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan
ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar,
sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4.
Tahap
keempat: Ada perubahan kecil seperti
penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan
pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
ARSITEKTUR
1. Tingkat I : KAMADHATU
- dinding atas relief
Lalitavistara : 120 panilRelief ini menggambarkan riwayat hidup Sang Buddha
Gautama dimulai pada saat para dewa di surga Tushita mengabulkan ermohonan
Bodhisattva untuk turun ke dunia menjelma menjadi manusia bernama Buddha
Gautama. Ratu Maya sebelum hamil bermimpi menerima kehadiran gajah putih
dirahimnya. Di Taman Lumbini Ratu Maya melahirkan puteranya dan diberi nama
pangeran Sidharta. Pada waktu lahir Sidharta sudah dapat berjalan, dan pada
tujuh langkah pertamanya tumbuh bunga teratai. Setelah melahirkan Ratu Maya
meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta
kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa. Dalam suatu perjalanan
Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang
buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang
dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan
seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak
menjadi ancaman bagi seorang pendeta. Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan
menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta.
Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di
istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan enjadi
pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai
pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin.
Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana.
Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari
rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak,
Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota
Benares.
- dinding bawah relief
Manohara dan Avadana : 120 panilCerita Manohara menggambarkan cerita
udanakumaravada yaitu kisah perkawinan pangeran Sudana dengan bidadari
Manohara. Karena berjasa menyelamatkan seekor naga, seorang pemburu bernama Halaka
mendapat hadiah laso dari orang tua naga. Pada suatu hari Halaka melihat
bidadari mandi di kolam, dengan lasonya berhasil menjerat salah seorang
bidadari tercantik bernama Manohara. Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan
Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah
Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan
pangeran Sudana dengan Manohara. Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali
orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang
lemah. Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung
elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan
daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi
sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang.
Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua
makhluk hidup.
- langkan bawah (kisah
binatang) relief Jatakamala: 372 panil langkan atas (kisah binatang) relief
Jataka:128 panil Relief ini mempunyai arti untaian cerita jataka yang
mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai seorang manusia
bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung pada penjelmaan sang
Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan pengorbanannya. Cerita jataka
diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng,
namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera,
namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan
mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud
kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di
hutan. Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang
mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.
2. Tingkat II
Pada dinding-dinding lorong
dari tingkat ini juga berisi relief yang menggambarkan cerita-cerita dari
naskah-naskah Sansekerta : Gandawyuha, Lalitawistara, Jataka dan Awadana. Disamping
itu tingkat ini kaya akan hiasan-hiasan beraneka ragam, seperti kalamakara. Daun-daunan
spiral, bunga-bungaan dan sebagai-nya.
– langkan relief
Jataka/Avadana : 100 panil Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha
di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut
barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap,
akhirnya memberikan ajarannya.
3. Tingkat III
Sebelum orang sampai ke
tingkat Arupadhatu yang sebenarnya, ada terdapat “tingkat peralihan”: suatu
dataran (plateau) yang batas luarnya masih berbentuk bujursangkar, tetapi
tembok dalamnya sudah berbentuk bundar, lingkaran yang tak bermula dan tak
berakhir. Setingkat kemudian orang berada ditingkat ini, orang akan merasakan
suatu suasana yang tenang, murni dan tenteram, Atau berada dalam alam semadi.
Dalam tingkat ini yang
terdiri dari tiga dataran berundak berbentuk bundar, samasekali tidak terdapat
relief maupun hiasan-hiasan. Diatas masing-masing undak dari dataran-dataran
itu terdapat 72 buah stupa berlobang-lobang berdiri dalam tiga deretan mengelilingi
stupa induk. Ketiga dataran itu masing-masing memuat berturut-turut dari bawah
keatas : 32, 24 dan 16 buah stupa, yang didalamnya berisi arca-arca Buddha.
4.Stupa Induk
Stupa induk berukuran lebih
besar dari stupa-stupa lainnya dan terletak di tengah-tengah merupakan mahkota
dari seluruh monumen. Garis tengah stupa induk ini 9.90 M. Dan tingginya sampai
di bagian bawah pinakel: 7 M. Terletak diatas padmaganda dan pinakelnya
terletak diatas harmika ganda. Diatas puncak pinakel dahulunya diberi payung
(chattra) bertingkat tiga (sekarang tidak terdapat lagi).
Stupa induk ini tertutup
rapat, sehingga orang tidak bisa melihat bagian dalamnya. Di dalamnya terdapat
kamar (ruangan) yang sekarang tidak berisi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
ruangan itu untuk tempat penyimpanan arca atau reliek, tetapi pendapat itu
masih diragukan kebenarannya, karena sewaktu diadakan penyelidikan mengenai isi
dari stupa induk oleh Residen Kedu. Hartmann dalam tahun 1842 sama sekali tidak
dibuatkan laporan tertulis, sehingga semua pendapat mengenai isi stupa induk
itu hanyalah dugaan belaka.
Sampai saat ini ada beberapa
hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur,
misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai
ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau
masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu
itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu
dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang
dipergunakan?. Gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu
dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai
dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke
atas? masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmiah, terutama
tentang ruang yang ditemukan pada stupa induk candi dan patung Budha, di pusat
atau zenith candi dalam stupa terbesar, diduga dulu ada sebuah patung
penggambaran Adibuddha yang tidak sempurna yang hingga kini masih menjadi
misteri.
KERUNTUHAN DAN PENEMUAN KEMBALI
Kurang lebih satu setengah abad lamanya Borobudur menjadi pusat
tempat berziarah bagi penganut agama Buddha di Jawa. Akan tetapi dengan
runtuhnya kerajaan Mataram Kuno kira-kira dalam kwartal pertama abad ke-10 M,
yang dibarengi dengan berpindahnya kekuasaan politik dan kebudayaan dari Jawa Tengah
ke Jawa Timur, maka sejak itulah bangunan-bangunan suci di Jawa Tengah termasuk
Borobudur diserahkan pada nasibnya sendiri. Mulailah tumbuhan-tumbuhan
merajalela merusak batu-batu bangunan-bangunan suci itu. Gempa bumi yang disebabkan oleh letusan
gunung berapi punikut berperan dalam proses runtuhnya beberapa bagian candi,
khususnya bagian atas. Sedangkan sebagian lagi tertimbun tanah. Sejak itupula
Borobudur hilang dari pandangan.
Baru dalam abad ke 18 M menurut tradisi dalam Babad Tanah Jawi
terdapat berita singkat mengenai larinya Mas Dana yang memberontak melawan Paku
Buwana I (1709 – 1710 M) dan ditangkap di “redi Borobudur”. 50 tahun kemudian
1757 – 1758 seorang pangeran Yogyakarta mengunjungi Borobudur “untuk melihat seribu arca”.
Untuk lebih ringkasnya berikut runtutan
pemugaran dan perbaikan :
KRONOLOGIS PENEMUAN DAN
PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR
- 1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di
Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles
memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa
bukit yang dipenuhi semak belukar.
- 1873 – monografi pertama tentang candi diterbitkan.
- 1900 – pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran
dan perawatan candi Borobudur.
- 1907 – Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
- 1926 – Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat
krisis malaise dan Perang Dunia II.
- 1956 – pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C.
Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab
kerusakan Borobudur.
- 1963 – pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar
Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
- 1968 – pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi
bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
- 1971 – pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang
diketuai Prof.Ir.Roosseno.
- 1972 – International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan
berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori
UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750
juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.
- 10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran
Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984
- 21 Januari 1985 – terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa
pada candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali.
- 1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.
MONITORING
Candi Borobudur setelah
selesai dipugar tidak berarti selesai sudah perawatan terhadap candi tersebut.
Tidak ada jaminan kalau Candi Borobudur terbebas dari proses kerusakan dan pelapukan.
Oleh karena itu kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudur selalu melakukan
monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan. Misalnya monitoring melalui
kegiatan observasi pertumbuhan mikroorganisme, observasi stabilitas batu candi,
evaluasi struktur candi dan buki, observasi geohydrologi, observasi sistem
drainase, analisis mengenai dampak lingkungan, dan lain-lain.
PERLINDUNGAN
Usaha perlindungan
dilakukan dengan membuat mintakat (zoning) pada situs Candi Borobudur yaitu:
– Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
– Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
– Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
– Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
– Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)
Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.
– Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
– Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
– Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
– Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
– Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)
Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.
0 komentar:
Posting Komentar