KI NARTOSABDHO;
DALANG TERHEBAT
DAN SENIMAN TANPA TANDING
Bagi penggemar Wayang
kulit pasti familiar dengan nama besar “Ki Nartosabdho” seorang maestro yang
sangat luar biasa. Pada setiap penampilannya mendalang kesan pertama yang akan
muncul dari penonton ataupun pendengarnya adalah, rangkaian sastranya yang
runtut, serta kemampuannya dalam menghidupkan atmosper dunia pertunjukannya. Sehingga
wayang-wayang yang berada di tangannya seolah-olah benar-benar hidup, lengkap
dengan ideologi masing-masing karakter.
Dialog yang dibawakan
dalam setiap pertunjukannya bagaikan menyihir penontonnya sehingga terasa
melihat orang banyak yang sedang bercengkrama beradu pendapat bahkan kadang
berdebat hingga bertikai satu sama lain dengan alasan-alasan yang sangat logis,
dan hebatnya lagi Ki Nartosabdho selalu bisa menyelipkan guyonan dan hal-hal
lucu hampir disetiap adegan dengan sangat cerdas. Dan guyonan-guyonannya terasa
kreatif tanpa unsur-unsur sara, kata-kata jorok, atau cerita-cerita mesum yang
biasa dilakukan oleh pelawak-pelawak atau para dagelan.
Sunarto aadalah nama
aslinya, lahir di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 25 Agustus 1925 dari
keluarga kurang mampu. Ayahnya, Partinojo seorang pembuat sarung keris. Oleh
karena kemiskinannya ini Sunarto kecil tak dapat melanjutkan sekolahnya setelah
putus sekolah angka “telu’ pada Standart School Muhammadiyah. Disudutkan pada
situasi ekonomi yang sulit ini, Sunarto yang sudah beranjak remaja ikut
menopang ekonomi keluarga dengan mencari uang melalui kemampuannya dalam bidang
seni lukis. Merasa mampu pada bidang kesenian lainnya, dia pun kemudian turut
memperkuat orkes keroncong “Sinar Purnama” sebagai pemain biola.
Minatnya yang besar
pada dunia kesenian ini lebih tampak lagi ketika dia melanjutkan sekolah di
Lembaga Pendidikan Katolik. Terlebih-lebih setelah perkenalannya dengan Ki
Sastrasabdho pada tahun 1945. Oleh pendiri Ngesti Pandowo ini Sunarto
betul-betul ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami instrumen
gendang.
Lewat Ki Sastrasabdho
pula, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Maka sejak itu pun Sunarto belajar
mendalang . Antara Ki Sastrosabdho dan Sunarto adalah ibarat “Warangka manjing
curuga, curiga manjing warangka”, keduanya adalah satu kesatuan sebagai anak
dan bapak. Oleh karenanya kemudian Ki Sastrosabdho menganugerahi nama
belakangnya kepada murid kinasihnya ini menjadi Nartosabdho.
Dari perjalanan
hidupnya tersebut tampak bahwa Ki Nartosabdho telah melalui proses yang panjang
dalam berkesenian . Jiwanya jadi kaya lantaran dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman
batin baik dalam hidup maupun dalam berkesenian.
Pergaulannya yang luas
dengan berbagai kalangan masyarakat telah memperkaya dirinya dengan berbagai
pengetahuan, sampai-sampai Presiden Soekarno waktu itu menjadikan dirinya
sebagai dalang kesayangannya.
Gending-gending Nartosabdhan
Perjalanan hidupnya
yang liat dan panjang, terpancar jelas pada karya-karya gendhingnya yang
memiliki karakter khas milik Ki Nartosabdho. Oleh sebab itu tak heran jika gendhing-gendhingnya
mendapat istilah “Gendhing-gendhing Nartosabdhan”.
Ki Nartosabdho pula
yang mendapat istilah sebagai seniman yang memiliki Tri Karsa Budhaya. Sebuah
istilah yang dicetuskan oleh Sekretariat Pewayangan Indonesia itu memliki
makna: Menggali, Mengembangkan, dan Melestarikan kebudayaan Nasional.
Dengan kesadaran Tri
Karsa Budhaya inilah Ki Narto berjalan di belantara kesenian Indonesia .
Beberapa lagu rakyat yang sempat dia gali antara lain, Kembang Glepang
Banyumasan, Mijil Lelayu, Jurang Jugrug, Gudril dan lain-lain. Bersama
perkumpulan Karawitan “Condong Raos” yang dia pimpin Ki Narto mengolah
lagu-lagu kuna itu menjadi segar kembali.
Dalam melaksanakan Tri
Karsa Budhaya ini Ki Narto bukannya tanpa mengalami rintangan, pada pertengahan
pemunculannya bahkan sampai ada salah satu RRI yang tidak mau memutar
gendhing-gendhing karyanya.
Namun dengan kegagahan
seorang kreator yang tahan uji, Ki Narto malah tambah getol dalam mencipta dan
berkreasi. Pandangannya yang moderat telah membuka wawasan berpikirnya lebih
luas termasuk dalam mempelajari budaya Jawa.
Akhirnya, hampir pada
setiap produk gendhing gendhingnya yang tersaji bersama perkumpulan karawitan
“Condong Raos”, segera saja meledak di pasaran, terlebih lebih karena para
dhalang yang sefaham dengan Ki Narto juga ikut mengembangkannya melalui seni
pakelirin, maka otomatis gendhing-gendhing Nartosabdhan ini makin memasyrakat.
Sebut saja misalnya,
siapa yang tak mengenal gendhing “Lesung Jumengglung”? atau juga gendhing Ampat
Lima. Ditambah lagi di tahun-tahun akhir menjelang kepergiannya, Ki Narto juga
menciptakan gendhing yang elok yakni Wawasan Identitas Jawa Tengah. Begitulah,
gendhing-gendhing Nartosabdhan akhirnya menjadi air deras yang tak dapat
dibendung. Dia mengalir terus menapaki waktu, bahkan hingga kini.
Sepertinya para seniman
karawitan sepakat mengistilahkan karya-karya gending Ki Nartosabdho dengan
sebutan gendhing-gendhing Nartosabdhan. Betapa tidak, dari dalang termasyur ini
lahir ratusan karya gendhing yang menempatkan dirinya sejajar dengan
seniman-seniman besar yang dimiliki oleh negeri ini.
Istimewa
Bukan cuma lantaran
banyaknya jumlah karya yang telah dihasilkan (319 gending) sehingga
gendhing-gendhingnya mendapatkan tempat yang istimewa di hati para seniman
karawitan, budayawan, dalang maupun waranggana, namun secara kualitas nampaknya
memang belum ada kreator lain yang mampu menandinginya.
Ini tak berlebihan,
seperti yang saya ingat menjelang pemberangkatan jenazah Ki Narto dari rumah
duka di Jalan Anggrek X, dari penuturan dalang Ki Anom Soeroto, Ki Timbul, Nyi
Suharti, mereka mengaku bukan cuma kagum terhadap karya-karya almarhum, namun
juga merasa pernah menjadi murid baik secara langsung maupun tak langsung dari
seniman besar itu.
Adapun karakteristik
yang terkandung di dalam gendhing-gendhing Nartosabdhan dapat ditandai lewat
lagu lagu maupun gendhingnya yang berisi beberapa hal, misalnya, adanya unsur
gregel seperti yang tertuang pada cakepan (syair) lagu Dhandhang Gula Sida
Asih.
Adanya wiled (cengkok
yang menunjukkan naik turunnya titi laras), hal ini nampak betul pada setiap
lagu yang memasuki interlude. Sigrak, hampir setiap lagon (jenis gending yang
terlepas dari Subokasto: Gending, Ketawang, Ladrang dan Lancaran), dan
lain-lain, di dalamnya terkandung unsur dinamis yang merangsang orang yang
mendengarnya untuk hanyut dalam lagu-lagu tersebut.
Sebagai contoh dari
lagu yang memiliki unsur-unsur di atas misalnya tampak pada lagu kinudang
Kudang. Lagu ini bukan saja memiliki unsur-unsur termaksud, namun juga memiliki
keiistimewaan yang tak dimiliki oleh lagu-lagu lainnya, karena di dalam lagu
ini terkandung pula obsesi pengarangnya kepada seseorang yang dikaguminya dari
segi kemampuannya menyinden. Simaklah syair ini :
Kinudang kudang
Kinudang kudang tansah
bisa leladi
Narbuka rasa tentrem
angayomi
Tata susila dadi tepa
tuladha
Sababe dek iku
sarawungan kudu
Dadi srana murih guna
kaya luwih
Ngrawuhi luhuring
kabudayan
Tinulat sakehing bangsa
manca
Rahayu sedya angembang
rembaka
Jika kita urut dari
atas ke bawah, maka awal setiap kalimat akan berbunyi: Ki Nartosabdho –
Ngatirah. Dan masih banyak lagi lagu-lagu sejenis di atas yang menurut saya
juga berguna untuk menyelamatkan karya-karya Ki Nartosabdho dari para plagiat.
Sebab ternyata, ia juga seorang seniman yang cerdik yang menyadari hak patent,
jauh sebelum ada Yayasan Karya Cipta Indonesia.
Lelayu, begitulah judul
komposisi tua berjenis mijil yang dikreasi kembali oleh Ki Nartosabdho yang
dibawakan oleh kelompok Condong Raos, grup gamelan pimpinan Ki Narto pada
persemayaman tersebut.
Layu-layu, umiring sang
kinkin,
sajroning patunggon
sung sasanti sang dyah kamuksane
Nedya anut mring sang
guru laki
Kang gugur madyaning
palugon…
Mijil Lelayu terdengar,
mengantarkan sang maestro ke alam kelanggengan. Lagu sedih itu telah
menggugurkan sekalian tangis para budayawan, dalang, pengrawit, pesinden dan
semua yang pernah dekat dengan sang kreator. Bahkan pengusaha jamu sekaligus
musisi Jaya Suprana yang mengaku pernah belajar pada almarhum, tak lama setelah
kepergian Pak Narto, menyempatkan diri menggubah sebuah komposisi berjudul
Epitaph II bagi sang guru.
Nama : NARTOSABDO
Lahir : Klaten, Jawa
Tengah, 25 Agustus 1925 (pn 7 Oktober 1985)
Agama : Islam
Pendidikan :
·
Standaard School
Muhammadiyah
·
Akademi Seni Karawitan
Indonesia, Solo
Karir :
·
Pembuat seruling
·
Pengantar susu
·
Pengusaha wayang kulit
·
Pemain Group Wayang
Orang Ngesti Pandowo
·
Pemimpin Grup Wayang
Orang Ngesti Pandowo
·
Dalang. Lagu-lagu
keroncong dan langgam ciptaannya antara lain: Swara Suling, Ibu Pertiwi,
Cluntang Binangun, Glopa-glape, Turi-turi Putih, Lumbung Desa, Lesung
Jumengglung, Saputanganmu, Ayo Praon, Aja Lamis, dan Tahu-tahu Tempe
Sumber : http://wayangprabu.com/audio-mp3-pagelaran-wayang-berbagai-dalang/surakarta/ki-nartosabdho/
Bagi yang ingin mendownload secara gratis rekaman-rekaman
penampilan Ki Nartosabdho bisa di akses di alamat web diatas, dengan bergabung
sebagai anggotannya, anda akan mendapatkan password untuk mendownload Mp3 nya.
0 komentar:
Posting Komentar