Senin, 02 Januari 2012

Ki NARTOSABDHO; Sang Maestro, Dalang Terhebat Sepanjang Masa


 KI NARTOSABDHO; 
DALANG TERHEBAT 
DAN SENIMAN TANPA TANDING 



Bagi penggemar Wayang kulit pasti familiar dengan nama besar “Ki Nartosabdho” seorang maestro yang sangat luar biasa. Pada setiap penampilannya mendalang kesan pertama yang akan muncul dari penonton ataupun pendengarnya adalah, rangkaian sastranya yang runtut, serta kemampuannya dalam menghidupkan atmosper dunia pertunjukannya. Sehingga wayang-wayang yang berada di tangannya seolah-olah benar-benar hidup, lengkap dengan ideologi masing-masing karakter.
Dialog yang dibawakan dalam setiap pertunjukannya bagaikan menyihir penontonnya sehingga terasa melihat orang banyak yang sedang bercengkrama beradu pendapat bahkan kadang berdebat hingga bertikai satu sama lain dengan alasan-alasan yang sangat logis, dan hebatnya lagi Ki Nartosabdho selalu bisa menyelipkan guyonan dan hal-hal lucu hampir disetiap adegan dengan sangat cerdas. Dan guyonan-guyonannya terasa kreatif tanpa unsur-unsur sara, kata-kata jorok, atau cerita-cerita mesum yang biasa dilakukan oleh pelawak-pelawak atau para dagelan.
Sunarto aadalah nama aslinya, lahir di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 25 Agustus 1925 dari keluarga kurang mampu. Ayahnya, Partinojo seorang pembuat sarung keris. Oleh karena kemiskinannya ini Sunarto kecil tak dapat melanjutkan sekolahnya setelah putus sekolah angka “telu’ pada Standart School Muhammadiyah. Disudutkan pada situasi ekonomi yang sulit ini, Sunarto yang sudah beranjak remaja ikut menopang ekonomi keluarga dengan mencari uang melalui kemampuannya dalam bidang seni lukis. Merasa mampu pada bidang kesenian lainnya, dia pun kemudian turut memperkuat orkes keroncong “Sinar Purnama” sebagai pemain biola.
Minatnya yang besar pada dunia kesenian ini lebih tampak lagi ketika dia melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik. Terlebih-lebih setelah perkenalannya dengan Ki Sastrasabdho pada tahun 1945. Oleh pendiri Ngesti Pandowo ini Sunarto betul-betul ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami instrumen gendang.

Lewat Ki Sastrasabdho pula, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Maka sejak itu pun Sunarto belajar mendalang . Antara Ki Sastrosabdho dan Sunarto adalah ibarat “Warangka manjing curuga, curiga manjing warangka”, keduanya adalah satu kesatuan sebagai anak dan bapak. Oleh karenanya kemudian Ki Sastrosabdho menganugerahi nama belakangnya kepada murid kinasihnya ini menjadi Nartosabdho.
Dari perjalanan hidupnya tersebut tampak bahwa Ki Nartosabdho telah melalui proses yang panjang dalam berkesenian . Jiwanya jadi kaya lantaran dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman batin baik dalam hidup maupun dalam berkesenian.
Pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan masyarakat telah memperkaya dirinya dengan berbagai pengetahuan, sampai-sampai Presiden Soekarno waktu itu menjadikan dirinya sebagai dalang kesayangannya.

Gending-gending Nartosabdhan
Perjalanan hidupnya yang liat dan panjang, terpancar jelas pada karya-karya gendhingnya yang memiliki karakter khas milik Ki Nartosabdho. Oleh sebab itu tak heran jika gendhing-gendhingnya mendapat istilah “Gendhing-gendhing Nartosabdhan”.
Ki Nartosabdho pula yang mendapat istilah sebagai seniman yang memiliki Tri Karsa Budhaya. Sebuah istilah yang dicetuskan oleh Sekretariat Pewayangan Indonesia itu memliki makna: Menggali, Mengembangkan, dan Melestarikan kebudayaan Nasional.
Dengan kesadaran Tri Karsa Budhaya inilah Ki Narto berjalan di belantara kesenian Indonesia . Beberapa lagu rakyat yang sempat dia gali antara lain, Kembang Glepang Banyumasan, Mijil Lelayu, Jurang Jugrug, Gudril dan lain-lain. Bersama perkumpulan Karawitan “Condong Raos” yang dia pimpin Ki Narto mengolah lagu-lagu kuna itu menjadi segar kembali.
Dalam melaksanakan Tri Karsa Budhaya ini Ki Narto bukannya tanpa mengalami rintangan, pada pertengahan pemunculannya bahkan sampai ada salah satu RRI yang tidak mau memutar gendhing-gendhing karyanya.
Namun dengan kegagahan seorang kreator yang tahan uji, Ki Narto malah tambah getol dalam mencipta dan berkreasi. Pandangannya yang moderat telah membuka wawasan berpikirnya lebih luas termasuk dalam mempelajari budaya Jawa.
Akhirnya, hampir pada setiap produk gendhing gendhingnya yang tersaji bersama perkumpulan karawitan “Condong Raos”, segera saja meledak di pasaran, terlebih lebih karena para dhalang yang sefaham dengan Ki Narto juga ikut mengembangkannya melalui seni pakelirin, maka otomatis gendhing-gendhing Nartosabdhan ini makin memasyrakat.
Sebut saja misalnya, siapa yang tak mengenal gendhing “Lesung Jumengglung”? atau juga gendhing Ampat Lima. Ditambah lagi di tahun-tahun akhir menjelang kepergiannya, Ki Narto juga menciptakan gendhing yang elok yakni Wawasan Identitas Jawa Tengah. Begitulah, gendhing-gendhing Nartosabdhan akhirnya menjadi air deras yang tak dapat dibendung. Dia mengalir terus menapaki waktu, bahkan hingga kini.
Sepertinya para seniman karawitan sepakat mengistilahkan karya-karya gending Ki Nartosabdho dengan sebutan gendhing-gendhing Nartosabdhan. Betapa tidak, dari dalang termasyur ini lahir ratusan karya gendhing yang menempatkan dirinya sejajar dengan seniman-seniman besar yang dimiliki oleh negeri ini.

Istimewa
Bukan cuma lantaran banyaknya jumlah karya yang telah dihasilkan (319 gending) sehingga gendhing-gendhingnya mendapatkan tempat yang istimewa di hati para seniman karawitan, budayawan, dalang maupun waranggana, namun secara kualitas nampaknya memang belum ada kreator lain yang mampu menandinginya.
Ini tak berlebihan, seperti yang saya ingat menjelang pemberangkatan jenazah Ki Narto dari rumah duka di Jalan Anggrek X, dari penuturan dalang Ki Anom Soeroto, Ki Timbul, Nyi Suharti, mereka mengaku bukan cuma kagum terhadap karya-karya almarhum, namun juga merasa pernah menjadi murid baik secara langsung maupun tak langsung dari seniman besar itu.
Adapun karakteristik yang terkandung di dalam gendhing-gendhing Nartosabdhan dapat ditandai lewat lagu lagu maupun gendhingnya yang berisi beberapa hal, misalnya, adanya unsur gregel seperti yang tertuang pada cakepan (syair) lagu Dhandhang Gula Sida Asih.
Adanya wiled (cengkok yang menunjukkan naik turunnya titi laras), hal ini nampak betul pada setiap lagu yang memasuki interlude. Sigrak, hampir setiap lagon (jenis gending yang terlepas dari Subokasto: Gending, Ketawang, Ladrang dan Lancaran), dan lain-lain, di dalamnya terkandung unsur dinamis yang merangsang orang yang mendengarnya untuk hanyut dalam lagu-lagu tersebut.
Sebagai contoh dari lagu yang memiliki unsur-unsur di atas misalnya tampak pada lagu kinudang Kudang. Lagu ini bukan saja memiliki unsur-unsur termaksud, namun juga memiliki keiistimewaan yang tak dimiliki oleh lagu-lagu lainnya, karena di dalam lagu ini terkandung pula obsesi pengarangnya kepada seseorang yang dikaguminya dari segi kemampuannya menyinden. Simaklah syair ini :
Kinudang kudang
Kinudang kudang tansah bisa leladi
Narbuka rasa tentrem angayomi
Tata susila dadi tepa tuladha
Sababe dek iku sarawungan kudu
Dadi srana murih guna kaya luwih
Ngrawuhi luhuring kabudayan
Tinulat sakehing bangsa manca
Rahayu sedya angembang rembaka
Jika kita urut dari atas ke bawah, maka awal setiap kalimat akan berbunyi: Ki Nartosabdho – Ngatirah. Dan masih banyak lagi lagu-lagu sejenis di atas yang menurut saya juga berguna untuk menyelamatkan karya-karya Ki Nartosabdho dari para plagiat. Sebab ternyata, ia juga seorang seniman yang cerdik yang menyadari hak patent, jauh sebelum ada Yayasan Karya Cipta Indonesia.
Lelayu, begitulah judul komposisi tua berjenis mijil yang dikreasi kembali oleh Ki Nartosabdho yang dibawakan oleh kelompok Condong Raos, grup gamelan pimpinan Ki Narto pada persemayaman tersebut.
Layu-layu, umiring sang kinkin,
sajroning patunggon sung sasanti sang dyah kamuksane
Nedya anut mring sang guru laki
Kang gugur madyaning palugon…
Mijil Lelayu terdengar, mengantarkan sang maestro ke alam kelanggengan. Lagu sedih itu telah menggugurkan sekalian tangis para budayawan, dalang, pengrawit, pesinden dan semua yang pernah dekat dengan sang kreator. Bahkan pengusaha jamu sekaligus musisi Jaya Suprana yang mengaku pernah belajar pada almarhum, tak lama setelah kepergian Pak Narto, menyempatkan diri menggubah sebuah komposisi berjudul Epitaph II bagi sang guru.

Nama : NARTOSABDO
Lahir : Klaten, Jawa Tengah, 25 Agustus 1925 (pn 7 Oktober 1985)
Agama : Islam
Pendidikan :
·                     Standaard School Muhammadiyah
·                     Akademi Seni Karawitan Indonesia, Solo
Karir :
·                     Pembuat seruling
·                     Pengantar susu
·                     Pengusaha wayang kulit
·                     Pemain Group Wayang Orang Ngesti Pandowo
·                     Pemimpin Grup Wayang Orang Ngesti Pandowo
·                     Dalang. Lagu-lagu keroncong dan langgam ciptaannya antara lain: Swara Suling, Ibu Pertiwi, Cluntang Binangun, Glopa-glape, Turi-turi Putih, Lumbung Desa, Lesung Jumengglung, Saputanganmu, Ayo Praon, Aja Lamis, dan Tahu-tahu Tempe
Bagi yang ingin mendownload secara gratis rekaman-rekaman penampilan Ki Nartosabdho bisa di akses di alamat web diatas, dengan bergabung sebagai anggotannya, anda akan mendapatkan password untuk mendownload Mp3 nya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons