Rabu, 28 Desember 2011

BOROBUDUR; Sebuah Tulisan Singkat


BOROBUDUR; Sebuah Tulisan Singkat
Salah Satu Keajaiban Dunia

 Hampir kehabisan kata-kata ketika menyebut nama “Borobudur”, siapa yang tidak tahu kebesaran-nya. Sebuah monumen candi terbesar dan terindah di Indonesia, bahkan adalah candi terindah di bumi selatan. Di Asia dapat disejajarkan dengan Sanchi dan Ayanta di India, Angkor Vat dan Bayon di Kamboja. Borobudur terletak di di pusat pulau Jawa dengan puncaknya yang menjulang ke angkasa dikelilingi bukit menoreh dan gunung-gunung berapi: Merapi & Merbabu disebelah timur, Sumbing dan Sundara disebelah barat.
NAMA ARTI DAN FUNGSI
Mengenai arti nama Borobudhur sampai sekarang masih belum jelas diduga nama Borobudur ini berasal dari bahasa Sansekerta “Vihara” yang berarti kompleks candi dan bihara atau asrama, sedangkan kata budur mengingatkan kita kepada bahasa Bali : Beduhur = di atas. Jadi nama Borobudur berarti asrama/bihara (kelompok candi) yang terletak diatas tanah (bukit). Memang dihalaman sebelah barat laut Borobudur sewaktu diadakan penggalian ditemukan sisa –sisa bekas sebuah bangunan, yang mungkin sekali bangunan bihara.
Pendapat lain dikemukakan oleh J.G. de Casparis berdasarkan prasasti Cri Kahulunan (842 M). Didalam prasasti tersebut terdapat nama sebuah kuil “Bhumisambara”, yang menurut dia tidak lagi lengkap. Agaknya masih ada sepatah kata lagi untuk “gunung” dibelakangnya, sehingga nama seluruhnya seharusnya “Bhumi Sambharabhudara”. Dari kata inilah akhirnya terjadi nama Borobudur. Tidak jauh dari Borobudur sekarang masih ada sebuah desa yang bernama “Bhumisegara”. Masih banyak lagi teori-teori dari para ahli tentang arti nama Borobudur ini.
Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
ore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Borobudur adalah bangunan suci agama Buddha. Di India bangunan yang berhubungan dengan agama Buddha disebut stupa. Ialah bangunan yang berbentuk kubah berdiri diatas sebuah lapik dan diberi payung diatasnya. Adapuna arti daripada stupa itu ialah :
Sebagai tempat menyimpan reliek (peninggalan-peninggalan yang dianggap suci; benda-benda, pakaian, tulang belulang sang Buddha, Arhat dan bhiksu terkemuka; dinamakan juga dhatugarbha (dagoba).
·        Sebagai tanda peringatan dan penghormatan sang Buddha dan Sanggha.
·        Sebagai lambang suci agama Buddha pada umumnya.
·        Lama kelamaan stupa itulah yang dipuja dan sebagai demikian disebut juga : caitya.
Bangunan Borobudur pada hakekatnya adalah stupa juga, yang karena mengalami perkembangan yang lama mempunyai bentuk arsitektur yang lain daripada yang terdapat di negara-negara beragama Buddha lainnya. Apakah dengan demikian Borobudur juga mempunyai arti dan fungsi seperti disebutkan diatas? Pada waktu diadakan penggalian tanah dibawah stupa induknya dalam tahun 1842 oleh Resi den Kedu, Hartmann, sama sekali tidak ditemukan reliek.
 (Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) 
merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya)
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Meskipun demikian belum ditemukan sumber-sumber tertulis yang menyebutkan bilamana, bagaimana dan berapa lama candi ini dibangun, sehingga secara pasti tidak dapat ditentukan usianya.
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus. Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.
 
 Danau purba
Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
   
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen

Pembangunan



 Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen  (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 AD, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 tahun dan dirampungkan pada masa pemerintahan Samaratungga pada tahun 825. 
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan termasuk candi Siwa Prambanan. Pada tahun 732 AD, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur. 
 Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. 
Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.

Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:
1.     Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
2.     Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3.     Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4.     Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
ARSITEKTUR

1. Tingkat I : KAMADHATU
- dinding atas relief Lalitavistara : 120 panilRelief ini menggambarkan riwayat hidup Sang Buddha Gautama dimulai pada saat para dewa di surga Tushita mengabulkan ermohonan Bodhisattva untuk turun ke dunia menjelma menjadi manusia bernama Buddha Gautama. Ratu Maya sebelum hamil bermimpi menerima kehadiran gajah putih dirahimnya. Di Taman Lumbini Ratu Maya melahirkan puteranya dan diberi nama pangeran Sidharta. Pada waktu lahir Sidharta sudah dapat berjalan, dan pada tujuh langkah pertamanya tumbuh bunga teratai. Setelah melahirkan Ratu Maya meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa. Dalam suatu perjalanan Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak menjadi ancaman bagi seorang pendeta. Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta. Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan enjadi pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin. Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana. Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak, Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota Benares.
- dinding bawah relief Manohara dan Avadana : 120 panilCerita Manohara menggambarkan cerita udanakumaravada yaitu kisah perkawinan pangeran Sudana dengan bidadari Manohara. Karena berjasa menyelamatkan seekor naga, seorang pemburu bernama Halaka mendapat hadiah laso dari orang tua naga. Pada suatu hari Halaka melihat bidadari mandi di kolam, dengan lasonya berhasil menjerat salah seorang bidadari tercantik bernama Manohara. Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan pangeran Sudana dengan Manohara. Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang lemah. Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang. Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua makhluk hidup.
- langkan bawah (kisah binatang) relief Jatakamala: 372 panil langkan atas (kisah binatang) relief Jataka:128 panil Relief ini mempunyai arti untaian cerita jataka yang mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai seorang manusia bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung pada penjelmaan sang Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan pengorbanannya. Cerita jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng, namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan. Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.
2. Tingkat II
Pada dinding-dinding lorong dari tingkat ini juga berisi relief yang menggambarkan cerita-cerita dari naskah-naskah Sansekerta : Gandawyuha, Lalitawistara, Jataka dan Awadana. Disamping itu tingkat ini kaya akan hiasan-hiasan beraneka ragam, seperti kalamakara. Daun-daunan spiral, bunga-bungaan dan sebagai-nya.
– langkan relief Jataka/Avadana : 100 panil Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya.
3. Tingkat III
Sebelum orang sampai ke tingkat Arupadhatu yang sebenarnya, ada terdapat “tingkat peralihan”: suatu dataran (plateau) yang batas luarnya masih berbentuk bujursangkar, tetapi tembok dalamnya sudah berbentuk bundar, lingkaran yang tak bermula dan tak berakhir. Setingkat kemudian orang berada ditingkat ini, orang akan merasakan suatu suasana yang tenang, murni dan tenteram, Atau berada dalam alam semadi.
Dalam tingkat ini yang terdiri dari tiga dataran berundak berbentuk bundar, samasekali tidak terdapat relief maupun hiasan-hiasan. Diatas masing-masing undak dari dataran-dataran itu terdapat 72 buah stupa berlobang-lobang berdiri dalam tiga deretan mengelilingi stupa induk. Ketiga dataran itu masing-masing memuat berturut-turut dari bawah keatas : 32, 24 dan 16 buah stupa, yang didalamnya berisi arca-arca Buddha.
4.Stupa Induk
Stupa induk berukuran lebih besar dari stupa-stupa lainnya dan terletak di tengah-tengah merupakan mahkota dari seluruh monumen. Garis tengah stupa induk ini 9.90 M. Dan tingginya sampai di bagian bawah pinakel: 7 M. Terletak diatas padmaganda dan pinakelnya terletak diatas harmika ganda. Diatas puncak pinakel dahulunya diberi payung (chattra) bertingkat tiga (sekarang tidak terdapat lagi).
Stupa induk ini tertutup rapat, sehingga orang tidak bisa melihat bagian dalamnya. Di dalamnya terdapat kamar (ruangan) yang sekarang tidak berisi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ruangan itu untuk tempat penyimpanan arca atau reliek, tetapi pendapat itu masih diragukan kebenarannya, karena sewaktu diadakan penyelidikan mengenai isi dari stupa induk oleh Residen Kedu. Hartmann dalam tahun 1842 sama sekali tidak dibuatkan laporan tertulis, sehingga semua pendapat mengenai isi stupa induk itu hanyalah dugaan belaka.

   MISTERI SEPUTAR CANDI BOROBUDUR
Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur, misalnya dalam hal susunan batu, cara mengangkut batu dari daerah asal sampai ke tempat tujuan, apakah batu-batu itu sudah dalam ukuran yang dikehendaki atau masih berupa bentuk asli batu gunung, berapa lama proses pemotongan batu-batu itu sampai pada ukuran yang dikehendaki, bagaimana cara menaikan batu-batu itu dari dasar halaman candi sampai ke puncak, alat derek apakah yang dipergunakan?. Gambar relief, apakah batu-batu itu sesudah bergambar lalu dipasang, atau batu dalam keadaan polos baru dipahat untuk digambar. Dan mulai dari bagian mana gambar itu dipahat, dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas? masih banyak lagi misteri yang belum terungkap secara ilmiah, terutama tentang ruang yang ditemukan pada stupa induk candi dan patung Budha, di pusat atau zenith candi dalam stupa terbesar, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha yang tidak sempurna yang hingga kini masih menjadi misteri.

KERUNTUHAN DAN PENEMUAN KEMBALI
Kurang lebih satu setengah abad lamanya Borobudur menjadi pusat tempat berziarah bagi penganut agama Buddha di Jawa. Akan tetapi dengan runtuhnya kerajaan Mataram Kuno kira-kira dalam kwartal pertama abad ke-10 M, yang dibarengi dengan berpindahnya kekuasaan politik dan kebudayaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, maka sejak itulah bangunan-bangunan suci di Jawa Tengah termasuk Borobudur diserahkan pada nasibnya sendiri. Mulailah tumbuhan-tumbuhan merajalela merusak batu-batu bangunan-bangunan suci itu.  Gempa bumi yang disebabkan oleh letusan gunung berapi punikut berperan dalam proses runtuhnya beberapa bagian candi, khususnya bagian atas. Sedangkan sebagian lagi tertimbun tanah. Sejak itupula Borobudur hilang dari pandangan.
Baru dalam abad ke 18 M menurut tradisi dalam Babad Tanah Jawi terdapat berita singkat mengenai larinya Mas Dana yang memberontak melawan Paku Buwana I (1709 – 1710 M) dan ditangkap di “redi Borobudur”. 50 tahun kemudian 1757 – 1758 seorang pangeran Yogyakarta mengunjungi  Borobudur “untuk melihat seribu arca”.

Untuk lebih ringkasnya berikut runtutan pemugaran dan perbaikan :
KRONOLOGIS PENEMUAN DAN PEMUGARAN CANDI BOROBUDUR
  • 1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
  • 1873 – monografi pertama tentang candi diterbitkan.
  • 1900 – pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
  • 1907 – Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
  • 1926 – Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.
  • 1956 – pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.
  • 1963 – pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
  • 1968 – pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
  • 1971 – pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
  • 1972 – International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.
  • 10 Agustus 1973 – Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran selesai pada tahun 1984
  • 21 Januari 1985 – terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada candi Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali.
  • 1991 – Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.
MONITORING
Candi Borobudur setelah selesai dipugar tidak berarti selesai sudah perawatan terhadap candi tersebut. Tidak ada jaminan kalau Candi Borobudur terbebas dari proses kerusakan dan pelapukan. Oleh karena itu kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudur selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan. Misalnya monitoring melalui kegiatan observasi pertumbuhan mikroorganisme, observasi stabilitas batu candi, evaluasi struktur candi dan buki, observasi geohydrologi, observasi sistem drainase, analisis mengenai dampak lingkungan, dan lain-lain.
PERLINDUNGAN
Usaha perlindungan dilakukan dengan membuat mintakat (zoning) pada situs Candi Borobudur yaitu:
– Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
– Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
– Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
– Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
– Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)
Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.
 





Selasa, 27 Desember 2011

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia; suatu gambaran singkat



SEJARAH ISLAM INDONESIA


“Maksud agama Islam dan buddha adalah sama, yang berbeda adalah cara ibadahnya. Karena itu saya tidak melarang rakyat saya memeluk agama baru itu, asal dilakukan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, tanpa paksa. Adapun mengenai diri saya sendiri mungkin kelak akan memeluknya...
Prabu Kertawijaya (raja terakhir Majapahit)

Jika kita mendengar istilah “Sejarah Islam” atau “sejarah Peradaban Islam” mungkin yang akan muncul dibenak kita adalah kemegahan dan alur kisah cerita bani Umayyah dan bani Abbasiyah, atau Kerajaan Islam di Cordova. Sangat sedikit sekali, jika tidak bisa dibilang langka, tulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia sendiri. Disekolah-sekolah pun konsentrasi mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia juga masih sangat minim. Yang terus menjadi fokus materi masih saja sejarah Islam yang berkutat di masa dinasti Umayyah, Abbasiyah atau Dinasti Islam di Cordova.
Kemudian peneliti-peneliti sejarah Islam di Indonesia didominasi oleh orang-orang barat. Belakangan jikasayamembaca beberapa judul di buku-buku yang membahas tentang masuknya agama Islam di Indonesia, hampir semua peneliti senada dengan penelitian yang dilakukan oleh snouck, bahwa Islam di Indonesia masuk pada abad ke 13 M. Dan yang ini menjadi rujukan banyak peneliti selanjutnya. Meskipun hal ini masih diperdebatkan, dan bahwa memang tidak ada yang tahu kapan persisnya Islam masuk kepulauan Indonesia, dan bagaimana kemudian penduduk kepulauan Nusantara ini memeluk agama Islam.
Sebenarnya mengenai masuknya Islam di Indonesia ini sudah pernah diadakan seminar pada tahun 1963 yang dilaksanakan di Medan, kemudian dilanjutkan di Aceh pada tahun 1980. Dengan kesimpulan yang telah disepakati bahwa Islam sebenarnya sudah masuk Indonesia sejak abad ke dua hijriah atau abad ke tujuh masehi tepatnya pada tahun 225 H (847 M).
Seorang sarjana dari pakistan dalam bukunya Advent of Islam in Indonesia mengatakan : pada suatu waktu dahulu telah terjadi satu peristiwa yang menyebabkan sejumlah nahkoda terpelajar dari Mekran (Buluchistan) telah mendarat di Sumatera. Dalam satu rombongan keluarga yang mendarat itu ikut seorang ahli sejarah yang bernama Abu Ishaq Al-makaratani Al-pasi (yaitu keluarganya berasal dari Mekran atau Buluchistan yang mendarat di Pasei Sumtera), beliau telah menulis satu karya yang amat penting tentang sejarah dinasti para penguasa Perlak. Buku ini dinamakan Izhar Al-haqq fi Silsilat Raja Perlak, dalam buku ini dicatat bahwa kerajaan Islam pertama di perlak didirikan pada tahun 225 H. (847 M).   
Penyebaran agama Islam yang mula-mula berangkat dari Aceh kemudian keMalaka, Palembang, Bantam, Tuban, Gresik dan sebagainya dengan penyebaran yang sangat multi kompleks. Sehingga sangat sulit untuk bisa mengetahui dengan pasti bagaimana penduduk Indonesia kemudian berbondong-bondong masuk agama Islam. Yang jelas perubahan ini terjadi melalui proses yang panjang dan setapak demi setapak.
Kemungkinan banyaknya penduduk Indonesia berubah memeluk agama Islam adalah karena pada dasarnya penduduk Nusantara ini jiwanya sudah siap untuk berislam. Mereka menemukan sesuatu yang mereka cari selama ini dalam hidup mereka, dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di hati mereka di dalam agama baru ini. Ada sebuah perkataan menarik yang di ucapkan oleh Prabu Kertawijaya (raja terakhir Majapahit) ketika berdialog dengan Sunan Ampel dan Sunan Giri, dimana setelah mendengar penjelasan-penjelasan dari para wali tentang inti – hakekat ajaran-ajaran Islam – menyatakan pendapatnya bahwa : “maksud agama Islam dan buddha adalah sama, yang berbeda adalah cara ibadahnya. Karena itu saya tidak melarang rakyat saya memeluk agama baru itu, asal dilakukan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, tanpa paksa. Adapun mengenai diri saya sendiri mungkin kelak akan memeluknya...”
Demikianlah seharusnya sejarah Islam Indonesia tidak di anak tirikan, karena sejarah masuknya Islam di Indonesia ini merupakan suatu fenomena luar biasa yang sangat menarik dan juga sangat penting untuk dikaji lebih lanjut. Betapa perkembangan Islam sangat pesat bahkan sehingga hampir seluruh warga nusantara memeluk agama ini. Berbeda dengan dinasti Islam di Cordova yang sudah bercokol ratusan tahun di eropa, namun yang tersisa sekarang hanyalah bangunan-bangunan nya.
Wallahu a’lam bi-l-shawab.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons