Rabu, 21 Desember 2011

Islam Abangan : definisi yang menuai banyak kritik, sekaligus menginspirasi



PENELITIAN CLIFFORD GEERTZ      
Dalam buku kebudayaan dan agama Clifford Geertz mengemukakan bahwa trasisi religius Jawa, khususnya dari kaum petani, merupakan sebuah campuran unsur-unsur India, Islam dan unsur-unsur pribumi Asia Tenggara. Timbulnya kerajaan-kerajaan besar dan militeristis di sumber-sumber beras di pedalaman dihubungkan dengan penyebaran pola kebudayaan Hindu dan Budha ke pulau itu. Ekspansi perdagangan internasional lewat laut ke kota-kota pelabuhan di pantai utara dalam abad ke 15 dan ke 16 dihubungkan dengan penyebaran pola-pola budaya Islam. 
Kemudian dua agama ini (Hindu dan Budha) menjadi agama masyarakat yang kemudian disusupi oleh tradisi-tradisi animistis yang khas bagi seluruh wilayah kebudayaan Melayu.
 Penelitian Clifford Geertz adalah yang paling sering dijadikan rujukan peneliti-peneliti selanjutnya. Dalam pengamatannya tentang bagaimana budaya, dan agama kemudian saling mempengaruhi. Dan bahwasannya memang sebuah fenomena keagamaan tidaklah lepas dari berbagai macam faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor itu bisa saja sejarah, politik, pengaruh tokoh dll.
Kita mungkin sering mendengar Islam santri dan abangan yang pertama kali di usulkan oleh Clifford Geertz yang dikedepankan dalam karyanya “the religion of Java”.  yang kemudian menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Dalam penelitian yang dilakukannya pada tahun 1950-an di daerah Jawa timur, Geertz mengusulkan bahwa umat Islam di Jawa bisa dengan membaginya dalam tiga kelompok. Yaitu mayoritas orang Jawa dalam pemahaman ini disebut orang abangan dan dikira sangat dipengaruhi agama Hindu Budha atau malah animisme, sedangkan orang islam yang lebih ortodoks disebut orang santri. Elite yang terikat dengan birokrasi diberi sebutan priyayi dan dikira dipengaruhi oleh agama hindu pula.
Geertz mengusulkan bahwa kaum abangan merupakan fenomena “sinkretisme mendasar di Jawa, yang merupakan lapisan paling mendasar di Jawa, yang merupakan tradisi rakyat sejati, dan juga merupakan lapisan paling mendasar dalam peradaban Jawa ”. Maka agama ini merupaka campuran animisme, Hinduisme dan Islam, dan memberi ruangan kepada kepercayaan rumit mengenai roh-roh dan teori-teori mengenai ilmu hitam dan perdukunan. Geertz mengatakan bahwa agama abangan ini terutama dianut oleh para petani meskipun ia juga mengakui adanya orang abangan di kota pula. 
Kelompok kedua terdiri dari orang-orang yang “lebih islami” dan menitikberatkan kewajiban-kewajiban agama ini. Kelompok santri ini, menurut Geertz, terutama terdiri dari orang pedagang prkotaan, meskipun juga terdapat kelompok santri besar di pedesaan, yaitu di pesantren.
Kelompok ketiga adalah kelompok priyayi, yang menurut Geertz, memiliki kecenderungan Hindu mistisisme dalam cara beragama mereka. Mereka pada umumnya bekerja sebagai pegawai dan secara luas mengabaikan rukun-rukun islam.
Meskipun penciptaan kategori-kategori tersebut dibuat untuk mendeskripsikan dan memberi kategori yang tepat, namun penciptaan kategori seperti ini bisa saja berbahaya, tapi seringkali juga sangat berguna. Paling tidak teori Geertz kemudian membut para peneliti-peneliti yang kritis setelahnya, untuk membuat penyempurnaan atas usulannya.
Bertolak belakang dengan pemahaman Geertz ialah pemahaman Mark Woodward, yang membahas kehidupan keagamaan kaum Muslimin di Yogyakarta dengan perbedaan diantara “kesolehan normatif” dan “mistisisme”. Ia menemukan bahwa pembagian abangan-santri-priyayi tidaklah tepat dipakai dalam usaha memahami umat islam di Jawa. Kemudian woodward mengusulkan lima kategori dasar dalam islam di Jawa, yakni : Islam lokal (indigenized Islam), tradisionalisme, modernisme, Islamisme, dan neo-modernisme.
Geertz mengawali diskusinya mengenai abangan dengan mengatakan bahwa dalam tradisi Jawa ada sebuah ritus sederhana, resmi dan bersahaja”. Maka , diskusinya mengenai abangan ini sangat berfokus pada ritus slametan. Meskipun isi maupun wadah slametan ini bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan, Geertz mengatakan bahwa ada beberapa hal yang selalu hadir dalam ritus ini diantaranya adalah misalnya kemenyan, salawat, dan pembicaraan dengan bahasa halus oleh sang penyelenggara. Ritus ini hendaknya mengurangi ketegangan dan konflik dalam masyarakat (walaupun tidak selalu berhasil tentunya), dan memberikan rasa kebersamaan dan kesetaraan kepada para hadirin. Selain itu, slametan juga menenangkan para roh setempat, supaya mereka tidak mengganggu ritusnya sendiri. Dengan mengutip salah satu informan Geertz : “pada saat slametan macam-macam makhluk gaib datang, dan duduk dan makan bersama kita.”
Sebagaimana yang diamati Geertz ritus slametan bisa diadakan diwaktu yang berbeda-beda; saat ada krisis kehidupan, saat ada hari raya Islam, saat seluruh desa perlu diintegrasikan, dan pada saat-saat yang lain. Ia menemukan pembahasan mengenai slametan yang diadakan berhubungan dengan kelahiran (tingkeban, babaran, pasaran, pitonan), dengan khitanan (sunatan), dengan pernikahan (kepanggihan), dan dengan kematian (layatan), serta slametan yang berhubungan dengan hari raya islam dan slametan bersih desa.    

KRITIKAN TERHADAP GEERTZ
Ada yang menerima karya Geertz apa adanya dan ada yang mengkritiknya secara tajam. Dalam kubu pertama banyak peneliti yang mengaplikasi sistem Geertz pada materinya dan memujinya. Akan tetapi disisi lain  telah mencatat bahwa sistem Geertz ini tidak cocok dengan keadaan nyata di Jawa.
Kritik-kritik ini dilontarkan pada sistem Geertz berdasarkan pandangan bahwa ketiga kelompok santri, abangan dan priyayi tidak memiliki dasar yang sama. Sedangkan santri dan abangan merupakan kelompok agama, priyayi merupakan kelas sosial. Lebih pula, istilah abangan sendiri dianggap bersifat menghina oleh sebagian umat islam di Jawa.
Lebih parah lagi, kritikan tajam telah diarahkan pada karya Geertz oeleh beberapa ahli Islam sendiri. Cendekiawan dan ahli Islam sendiri seperti Marshal Hodgson, kaget dengan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh Geertz, yang menurut Hodgson bahwa Geertz terlalu dipengaruhi oleh sekelompok orang modernis dalam pemahamannya terhadap agama Islam di Jawa. Maka apasaja yang dinyatakan syirik oleh informan modernis Geertz, juga dianggap keluar dari Islam oleh Clifford Geertz.
Dan memang banyak kritik yan dilontarkan ke kubu Geertz berdasarkan pengertian bahwa Geertz terlalu dipengaruhi orang-orang modernis di Jawa. Dengan kata lain, Geertz menerima definisi Islam para orang modernis tersebut, dan menganggap hal-hal yang menyimpang dari pemahaman ini sebagai syirik. Maka dapat dipahami bahwa karya Geertz ini dibebani oleh “pra-anggapan modernis,” dan bahwasannya pemahaman orang barat maupun orang Jawa sendiri juga dipengaruhi pra-anggapan ini.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Your discussion is helpful since I am learning about these kinds of things in my study. Thank you.

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons